my journey in earth

Tampilkan postingan dengan label culture ceremonial. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label culture ceremonial. Tampilkan semua postingan

Minggu, 18 Maret 2012

grebeg ramadhan in yogyakarta-indonesia

Ramadhan is a symbol of tradition Grebeg serve as ''Hajad Dalem'' (alms) and the generosity of the Sultan to his subjects. The essence of this ceremony is Gunungan Lanang release later contested by the public. Before being released, Gunungan Lanang first paraded from the Sultan Palace to show page Kauman Mosque for prayer. Palace pageantry characteristic is certainly the main attraction of the traditions in the ceremony Grebeg Shawwal.



Grebeg Shawwal is the ceremonial event in palace Ngayogyakarta held each calendar 1 Shawwal AH, or coinciding with the feast of 'Eid al-Fitr. The ceremony is usually held in the North Square of Sultan Palace after the execution of prayer 'Eid congregation.

After the prince of the Great Mosque prayer Kauman welfare, Lanang Mountains was released to the public. That said, the offering contains various crops arranged to form a cone is able to bring good luck. As a result after being released, Gunungan Lanang a mass seizure of materials.

While people working hard to fight each other Gunungan content Lanang, the palace held a ceremony Ngabekten Sungkeman Kakung Abdi Dalem. This tradition is not unlike the typical tradition of Javanese Lebaran, Sungkeman. The difference is, this tradition involves a relative of the Sultan Palace, Regents and Mayors in the province of DIY to do sungkem to Sri Sultan Hamengkubuwono.

Implementation of Shawwal 1432 H Grebeg held on Wednesday, August 31, 2011. Tradition that has survived decades of this should continue to be preserved. Let's take part in this unique tradition. Either just as a cultural observer, or participate berjibaku scramble blessing.







                      after ''sholat ied''  '' junk'' old newspapers to collect the base in the scavenger
                       blessing on this feast for scavengers

















                                            the court of soldiers preparing Grebeg ceremony, 
                            while waiting for the start of the ceremony in  relax or do other activities


















Senin, 02 Mei 2011

kasodo: persembahan untuk keselamatan, kepada Yang Maha Esa




Bromo mempunyai pesona alam yang sangat luar biasa, tidak akan pernah habis kekaguman kita oleh pemandangan alam yang indah. Gunung Bromo berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti Brahma atau seorang dewa yang utama, Gunung Bromo ini merupakan gunung yang masih aktif dan objek pariwisata yang sangat terkenal di wilayah Jawa Timur. Gunung bromo mempunyai ketinggian 2.400 meter di atas permukaan laut
Selain itu juga Suku Tengger memiliki daya tarik yang luar biasa karena mereka sangat berpegang teguh pada adat istiadat dan budaya yang menjadi pedoman hidupnya. Konon Suku Tengger adalah keturunan Roro Anteng (putri Raja Majapahit) dan Joko Seger (putera Brahmana







Sejak zaman Majapahit konon wilayah yang mereka huni adalah tempat suci, karena mereka dianggap abdi-abdi Kerajaan Majapahit. Sampai saat ini mereka masih menganut agama Hindu, setahun sekali masyarakat Tengger mengadakan upacara yadnya Kasada. Upacara ini berlokasi di sebuah pura yang berada di bawah kaki Gunung Bromo. Dan setelah itu dilanjutkan ke puncak Gunung Bromo. Upacara dilakukan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama di bulan Kasodo menurut penanggalan jawa.
Pada malam ke-14 Bulan Kasada Masyarakat Tengger penganut Agama Hindu (Budha Mahayana menurut Parisada Hindu Jawa Timur) berbondong-bondong menuju puncak Gunung Bromo, dengan membawa ongkek yang berisi sesaji dari berbagai hasil pertanian, ternak dan sebagainya, lalu dilemparkan ke kawah Gunung Bromo sebagai sesaji kepada Dewa Bromo yang dipercayainya bersemayam di Gunung Bromo. Upacara korban ini memohon agar masyarakat Tengger mendapatkan berkah dan diberi keselamatan oleh Yang Maha Kuasa.
















Sejak zaman Majapahit konon wilayah yang mereka huni adalah tempat suci, karena mereka dianggap abdi-abdi Kerajaan Majapahit. Sampai saat ini mereka masih menganut agama Hindu, setahun sekali masyarakat Tengger mengadakan upacara yadnya Kasada. Upacara ini berlokasi di sebuah pura yang berada di bawah kaki Gunung Bromo. Dan setelah itu dilanjutkan ke puncak Gunung Bromo. Upacara dilakukan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama di bulan Kasodo menurut penanggalan jawa.
Pada malam ke-14 Bulan Kasada Masyarakat Tengger penganut Agama Hindu (Budha Mahayana menurut Parisada Hindu Jawa Timur) berbondong-bondong menuju puncak Gunung Bromo, dengan membawa ongkek yang berisi sesaji dari berbagai hasil pertanian, ternak dan sebagainya, lalu dilemparkan ke kawah Gunung Bromo sebagai sesaji kepada Dewa Bromo yang dipercayainya bersemayam di Gunung Bromo. Upacara korban ini memohon agar masyarakat Tengger mendapatkan berkah dan diberi keselamatan oleh Yang Maha Kuasa.

Jumat, 29 April 2011

melasthi : penyucian diri



hari Raya Nyepi bertujuan memohon kepada Tuhan Yang Maha esa, untuk menyucikan Buwana Alit *alam manusia* dan Buwana Agung *alam semesta*. Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan bagian dari rangkaian perayaan yang lebih besar.
Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada "panglong ping 14 sasih kesanga", umat Hindu melaksanakan upacara Buta Yadnya di perempatan jalan dan lingkungan rumah masing-masing, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis sesajen menurut kemampuannya. Buta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar). Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisuda Buta Kala, dan segala leteh (kekotoran) diharapkan sirna semuanya.





Rangkaian Tawur Agung Kesanga diawali dengan upacara Nuwur Tirta atau pengambilan air suci di Candi Brahma, Syiwa dan Wisnu. Dua belas orang Banten pengusung Jempana (tempat sesaji) berjajar rapi di belakang pembawa umbul-umbul warna kuning dan putih dan didampingi dua orang yang mengusung payung warna kuning dan putih. Dibelakang pengusung sesaji berbaju putih itu ada pembawa umbul warna merah dan hitam. Diikuti 9 anak menghunus senjata nawa sanga berupa tombak dan 26 penari Rejang. Selanjutnya 10 orang mangku atau wasi yang berjalan di depan 2 gunungan berupa buah-buahan. Barisan paling belakang adalah penggamel atau barisan tetabuhan yang berjajar di depan pengusung Ogoh-ogoh.




Sekitar pukul 09.00 iring-iringan mulai berjalan menuju Candi Tri Murti. Di sana telah menunggu tiga orang wasi yang telah mendoakan air suci. Sekitar setengah jam berlalu, iring-iringan kembali lagi ke lokasi upacara dipimpin para wasi yang berjalan sambil membunyikan lonceng. Setelah semua perlengkapan upacara ditata, barulah dimulai ritual Mendak Tirta. Mendak Tirta dibuka dengan tari Rejang Dewa. Saat itu, ribuan umat Hindu asal Jawa Tengah dan DIJ mengikuti irama tetabuhan sambil mengumandangkan Kidung Dharma Gita

















Barulah dilanjutkan upacara Tawur Panca Kelud Saka 1931 yang diawali taritarian sacral pengiring Yadnya atau tari Purwa Bumi Kemulan. Dilanjutkan pemujaan korban suci kepada 9 mata angina sebagai symbol alam semesta. Ritual dilanjutkan Nganteb Caru oleh Sri Mpu dibantu 5 orang wasi. Saat itu semua umat Hindu terlihad hitmad dan tenang menyimak kidung Dharma Gita yang diucapkan oleh paguyuban Kidung Banguntapan, Bantul. Setelah itu ritual Bleganjur diteruskan tarian Ogoh-ogoh. Masing-masing Ogoh-ogoh diusung oleh belasan pemuda berusia remaja.